Belajar dari Jepang: Kalau Rakyat Berdaya, Bangsa Tak Perlu Mengemis
Pernahkah kita membayangkan sebuah negara yang rata dengan tanah karena bom atom, tidak punya minyak, dan tidak punya tambang, tapi hanya dalam 30 tahun bisa membuat dunia “gemetar” karena kemajuannya? Itulah Jepang.

Banyak orang mengira Jepang sukses karena mereka pintar atau punya modal besar sejak awal. Padahal, rahasianya jauh lebih sederhana: mereka tidak menunggu perintah dari atas, tapi mereka bergerak bersama dari bawah. Inilah yang kita suarakan di Gerakan Mandiri Bangsaābahwa perubahan itu lahir dari rakyat, bukan cuma dari ruang rapat para elite.
Jangan Tergantung pada “Otot”, Pakailah “Otak”
Dulu, Jepang itu seperti kita, mengandalkan industri berat yang melelahkan. Tapi begitu harga minyak dunia melonjak, mereka sadar: kalau terus begini, bangsa bisa bangkrut. Mereka tidak mengeluh atau menyalahkan keadaan. Mereka berani berubah arah.
Mereka berhenti mengandalkan “otot” dan mulai mengandalkan “otak” melalui teknologi. Pelajarannya? Kita tidak boleh cuma jadi penonton atau pasar bagi barang asing. Setiap daerah di Indonesia punya potensi unik. Ada yang kuat di pertanian, ada yang hebat di kreativitas. Kemandirian itu dimulai saat kita berani mengelola apa yang kita punya, tanpa harus selalu diseragamkan oleh aturan pusat yang sering kali tidak nyambung dengan kebutuhan di lapangan.
Modal Terbesar Itu Namanya “Gotong Royong”
Ada satu cerita menarik tentang bagaimana rakyat Jepang membangun negaranya. Mereka tidak berhutang gila-gilaan ke luar negeri. Rakyatnya punya budaya menabung yang luar biasa. Uang receh yang dikumpulkan nenek-nenek di desa hingga buruh di pabrik itulah yang kemudian diputar oleh bank dalam negeri untuk memodali perusahaan-perusahaan lokal mereka sendiri.
Itulah gotong royong yang sebenarnya. Rakyat percaya pada bangsanya, dan pemerintahnya bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat. Tidak ada politik yang cuma datang pas kampanye lalu hilang setelahnya. Yang ada adalah kerja keras yang berkelanjutan. Di Gerakan Mandiri Bangsa, inilah yang kita cita-citakan: sebuah tatanan di mana rakyat punya peran nyata, bukan cuma jadi penonton pembangunan.
Berhenti Menunggu, Mulai Bergerak
Jepang mengajarkan kita bahwa untuk jadi bangsa besar, kita tidak bisa gonta-ganti rencana setiap lima tahun hanya karena ganti pemimpin. Kita butuh visi yang sama: ingin mandiri.
Kita sering kali terlalu sibuk melihat ke atas, menunggu instruksi atau bantuan, padahal kekuatan sebenarnya ada di tangan kita sendiri. Indonesia ini terlalu besar kalau hanya diurus dari Jakarta. Indonesia akan kuat kalau rakyat di daerah-daerah berdaya, kalau inisiatif lokal didukung, dan kalau kita berhenti menggantungkan nasib pada janji-janji manis.
Indonesia tak bisa dibangun sendirian. Tapi Indonesia pasti bisa tegak berdiri kalau kita berani memulainya dari bawah, dari langkah-langkah kecil di lingkungan kita sendiri. Kalau Jepang yang hancur lebur saja bisa, kenapa kita tidak?
