Jiwaku Merah Putih, Bisnisku di Negeri Seberang: Ironi Pelarian Modal
Ketika kita lantang menyuarakan Gerakan Mandiri Bangsa, imajinasi kolektif kita biasanya berlabuh pada kedaulatan sumber daya alam, kekuatan pertahanan, atau swasembada pangan. Namun, kemandirian sejati sebuah bangsa modern tidak akan pernah terwujud tanpa kedaulatan modal dan ketersediaan talenta wirausaha yang bertumbuh di tanah sendiri.

Sayangnya, saat ini kita dihadapkan pada sebuah ironi yang memilukan. Sebuah fenomena yang secara halus, tetapi pasti, menggerogoti fondasi ekonomi kita: “Entrepreneur Drain”.
Ini bukanlah sekadar brain drain yang melibatkan akademisi atau pekerja terampil. Ini adalah kaburnya para pemilik modal, pencipta lapangan kerja, dan pengambil risiko bisnisāsebuah krisis yang oleh ekonom Paramadina, Wijayanto Samirin, diibaratkan sebagai “Indonesia Darurat Pengusaha.” Perpindahan operasional, aset, bahkan tempat tinggal ini tidak hanya berpusat di Singapura, tetapi meluas ke Malaysia, Hong Kong, hingga Australia, mencari yurisdiksi yang lebih ramah.
Ironi Pemain di Lapangan Becek
Bagi seorang pengusaha, membangun bisnis di Indonesia seharusnya adalah panggilan jiwa, sebuah kontribusi nyata kepada Ibu Pertiwi. Mereka adalah orang-orang yang berinvestasi, menggaji, dan membayar pajak. Mayoritas dari merekaāsebagaimana yang saya tangkap dari interaksi panjang dengan komunitas iniāsesungguhnya berjiwa Merah Putih; aset mereka ada di sini, dan mereka ingin anak cucu mereka bersekolah dan sukses di sini.
Lantas, mengapa kini pertemuan dengan pengusaha besar Indonesia lebih mudah terjadi di luar negeri, di “negeri seberang” yang menawarkan kepastian?
Jawabannya terletak pada perasaan diperlakukan tidak ramah oleh sistem. Dalam satu dekade terakhir, pengusaha merasa kerap dijadikan kambing hitam, disalahkan atas masalah lingkungan, ketimpangan upah, hingga isu PHK.
Padahal, akar masalah sesungguhnya bukan pada niat mereka, melainkan pada “Lapangan Becek” tempat mereka dipaksa bermain.
Regulasi dibuat rumit, sengaja diarahkan ke area abu-abu, dan menciptakan “Invisible Cost” (biaya siluman) atau “Under Table Money” yang tidak terhindarkan. Para pengusaha jujur yang ingin mematuhi Good Corporate Governance (GCG) justru kesulitan, sementara yang “adaptif” dipaksa kotor.
Inilah ironinya: alih-alih menjadi motor Gerakan Mandiri Bangsa, mereka justru menjadi korban dari tata kelola yang tidak bersih. Mereka sadar bahwa jika “uang-uang macam-macam” itu tidak ada, mereka bisa membayar pajak minimal dua kali lipat lebih besar dan meningkatkan kesejahteraan karyawan secara signifikan.
Konsekuensi Mandulnya Inovasi
Dampak dari “pelarian modal” ini jauh melampaui statistik PDB. Ini adalah serangan terhadap masa depan bangsa. Entrepreneur Drain memicu serangkaian krisis beruntun yang memandulkan kemandirian:
Capital Drain: Modal inti ditarik, dikontrol dari luar negeri, dan alokasi investasi baru diletakkan di yurisdiksi yang lebih ramah daya saing.
Job Drain: Penciptaan lapangan kerja berkualitas terhenti, membuat Indonesia hanya berkutat pada sektor resource base atau market base.
Innovation Drain: Kita kehilangan daya saing global. Bisnis yang memerlukan efisiensi dan teknologi tinggi ditaruh di tempat lain. Kita gagal menapaki Global Supply Chain dan hanya puas menjadi produsen komoditas berdaya tambah rendah.
Yang paling tragis adalah hilangnya talenta. Sekolah bisnis terbaik di dunia sesungguhnya bukanlah Harvard atau MIT, melainkan keluarga para pengusaha itu sendiri. Ketika generasi kedua dan ketiga ini menetap di luar negeriākarena kemudahan Permanent Residency dan kepastian hukumāmaka attachment mereka terhadap Indonesia akan hilang. Mereka akan menjadi WNA, dan Gerakan Mandiri Bangsa kehilangan para pewaris terbaiknya.
Peringatan: Filipina atau Vietnam?
Kita berada di persimpangan jalan yang genting. Sejarah menawarkan dua cermin:
Di satu sisi, ada Lebanon dan Filipina. Filipina, yang pada tahun 60-an dipandang sebagai raksasa ekonomi Asia, kini tersendat karena sistem yang tidak kondusif membuat talenta dan pengusahanya lari.
Di sisi lain, ada Tiongkok dan Vietnam. Transformasi kedua negara ini menunjukkan bahwa perubahan drastis dapat terjadi dalam satu generasi. Perbaikan dimulai ketika pemimpinnyaāseperti Deng Xiaopingāmengambil pendekatan pragmatis di atas ideologis, fokus pada penyederhanaan bisnis, dan menjamin kepastian hukum.
Kunci: Mencuci Sapu, Membersihkan Lapangan
Jika Presiden terpilih ingin mengawal Gerakan Mandiri Bangsa, maka fokus harus diarahkan untuk mengatasi krisis ini. Mengintensifkan penegakan hukum terhadap pengusaha tidak akan menyelesaikan masalah jika lapangannya tetap becek.
Oleh karena itu, ada dua langkah fundamental yang harus segera dilakukan:
Membersihkan Lapangan (Regulasi): Simplifikasi regulasi secara radikal. Regulasi yang rumit adalah mother of all corruption karena ia menciptakan kebutuhan akan suap.
Mencuci Sapu (Birokrasi dan APH): Aparat Penegak Hukum (APH) dan birokrasi adalah sapu yang digunakan untuk membersihkan lapangan. Jika sapunya kotor (oknumnya korup), maka lapangan tidak akan pernah bersih.
Negara harus bertransformasi menjadi Mitra Utama, memastikan kepastian hukum, dan memberikan insentif tulus bagi mereka yang berjiwa Merah Putih untuk berbisnis dan berinovasi di tanah air.
Kemandirian sejati adalah ketika modal Indonesia, oleh pengusaha Indonesia, dikelola dengan standar kelas dunia di Indonesia. Ironi “Jiwaku Merah Putih, Bisnisku di Negeri Seberang” harus segera kita akhiri dengan reformasi total, sebelum Entrepreneur Drain menjadi luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan.
