Demokrasi Tanpa Oposisi Itu Nama Lain dari Otoritarianisme
Oleh: Dr. Yandra Doni – Ketua Bidang Politik Partai Gema Bangsa
Kita sering mengklaim bahwa Indonesia ini negara demokrasi. Tapi pertanyaannya: masihkah demokrasi itu hidup kalau semua partai hanya jadi pengikut kekuasaan?
Hari ini, suasana politik kita makin sunyi dari kritik. Semua partai mayoritas mendukung pemerintah. Parlemen makin kompak, tapi bukan dalam mengawasi, melainkan dalam mengamini. Oposisi nyaris hilang. Padahal, demokrasi tanpa oposisi, itu sama saja dengan otoritarianisme—tapi versi diam-diam.
Demokrasi Butuh Penyeimbang, Bukan Pujian Sepihak
Demokrasi yang sehat harus punya keseimbangan. Harus ada yang berani bertanya, mengkritik, bahkan menolak ketika kebijakan tidak masuk akal. Tapi yang terjadi hari ini, siapa pun yang bersuara beda, langsung dicap pengganggu. Ruang untuk berbeda makin sempit.
Parlemen berubah jadi ruang seragam. Tidak ada suara yang menantang. Tidak ada perdebatan tajam. Yang ada hanya barisan panjang yang saling mengiyakan.
Inilah yang berbahaya. Karena tanpa oposisi, tidak ada rem. Tidak ada koreksi. Tidak ada alternatif. Dan yang lebih buruk: tidak ada harapan.
Oposisi Bukan Musuh, Tapi Penjaga Demokrasi
Banyak orang mengira oposisi itu identik dengan kebencian atau penolakan total. Padahal, oposisi yang sehat justru lahir dari cinta pada negeri. Ia hadir untuk menjaga agar kekuasaan tidak semena-mena. Agar pemerintah tetap berpikir dua kali sebelum mengambil kebijakan.
Saya selalu bilang: menjadi oposisi bukan soal melawan pemerintah, tapi soal membela rakyat.
Gema Bangsa: Berani Jadi Suara Tandingan
Di sinilah Gema Bangsa mengambil posisi yang tegas. Kami tidak ikut-ikutan arus. Kami tidak takut dianggap berbeda. Karena kami percaya, kalau semua partai hanya mendukung, maka siapa yang akan mengingatkan?
Kami hadir sebagai penyeimbang, bukan pembangkang. Kami ingin memperkuat demokrasi, bukan menjatuhkan pemerintahan. Tapi kalau ada kebijakan yang salah arah, kami akan bicara. Kalau ada penyimpangan, kami akan buka data. Kalau rakyat dirugikan, kami akan turun tangan.
Demokrasi Tanpa Perbedaan Itu Mati Rasa
Kita tidak bisa terus berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Demokrasi yang benar itu harus gaduh dengan ide, bukan sepi karena takut. Justru dalam debat, dialog, dan ketegangan—di situlah muncul keputusan terbaik.
Kalau semua pendapat hanya berasal dari satu poros, lalu siapa yang akan mewakili jutaan rakyat yang tidak setuju?
Kita Butuh Lebih Banyak yang Berani Beda
Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Tapi kita kekurangan orang yang berani bicara jujur. Kita butuh lebih banyak pihak yang mau mengambil posisi tidak nyaman: jadi oposisi yang konstruktif, jadi suara yang kritis, dan jadi penjaga agar demokrasi tidak berubah jadi monarki terselubung.
Karena kalau semua diam, maka yang paling rugi adalah rakyat.
Dan Gema Bangsa memilih untuk tidak diam.